Header Ads

test

Negeri Yang Ramah (Pengalaman Dawah di Negeri Sakura)

Jika anda berbicara dengan orang Jepang, maka akan tampak dari pancaran wajahnya bahwa mereka adalah orang orang yang sangat expressif dan responsif.

Kalimat yang paling sering terdengar adalah “HAI”, “iya” dan mereka juga menghargai hal-hal yang kecil dan biasa menurut kita. Adapun mereka menyikapi dengan ucapai takjub “sugoi”.

Tidak pernah saya mendapatkan mereka berbicara sambil menggunakan gadget atau handphone seperti kebanyakan masyarakat kita.

Mereka sangat menghargai lawan bicaranya, sebagaimana Rasulullah saw, beliau jika dipanggil maka akan menoleh dengan seluruh bagian tubuhnya. Ini menandakan bahwa Nabi saw sangat responsif dan expressif.

Sikap menghargai pembicaraan adalah akhlak yang mulia dalam Islam, Abu Darda mengatakan: Allah SWT menciptakan kita dua telinga dan satu mulut, agar kita lebih banyak mendengar dari berbicara.

Bahkan ulama lain mengatakan: Allah SWT menciptakan bentuk telinga ini lebar agar kita lebih sering mendengar dari pada ingin di dengar, dan mulut ini kecil agar kita lebih banyak diam dari berbicara.

Kalau pun berbicara pastikanlah ia sesuatu yang bermanfaat untuk di dengar. Nabi saw bersabda, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia berbicara yang baik atau diam”.

Belajarlah mendengar dan menghargai setiap pembicaraan. Seseorang akan berbahagia jika kalimat-kalimat yang ia utarakan kita dengarkan, walaupun kita tidak mengerti apa yang ia bicarakan.

Dalam khutbah Jumat kita dilatih untuk menyimak apa yang disampaikan khatib. Sampai Nabi saw mengancam: “Barang siapa yang berbicara ketika khatib berkhutbah, maka telah sia-sia dan siapa yang sia-sia, maka tidak ada Jumat baginya”.

Agar seimbang, seorang pembicara pun dalam Islam diperintahkan untuk berbicara sesuai dengan keadaan audience. Allah SWT berfirman, “Dan tidaklah kami mengutus Rasul, kecuali dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka”. (QS Ibrahim: 4)

Nabi saw, “Berbicaralah kepada manusia sesuai dengan tingkatan akal mereka”. Karenanya agar terjadi harmoni antara pembicara dan pendengar, pembicara mengetahui siapa yang diajak bicara sehingga menyesuaikan content pembicaraannya. Adapun pendengar menjadi tenang mendengarkan karena faham apa yang dibicarakan.


: Artikel oleh: Ustadz Faisal Kunhi, SHI, MA | sekarang tinggal di Tanah Abang, Jakarta Pusat | Follow twitter: @faisalkunhi



Tidak ada komentar