Akupun Tidak Menjadi Orang Yang Manja Dalam Dakwah Ini
Abdul Fattah Abu Ismail murid Imam Hasan Al Banna pernah kelelahan setelah sekian lama perjalanan yang ia tempuh hingga tertidur di sofa rumah Zainab Al Ghazali.
Melihat kondisi tubuhnya yang lelah dan penat itu, tuan rumah membiarkan tamunya tertidur nyenyak hingga terbangun. Tak berselang lama, ia pun terbangun dan segera menyampaikan amanah untuk Zainab Al Ghazali.
Selepas itu Abdul Fattah Abu Ismailpun pamit untuk ke kota lainnya. Lantaran keletihan yang dialaminya, Zainab Al Ghazali memberikan ongkos untuk naik taksi agar bisa melanjutkan perjalanan berikutnya dengan nyaman.
Namun Abdul Fattah Abu Ismail mengembalikan ongkos yang diberikan kepadanya itu sambil mengatakan, “Mohon maaf ibu, saya tidak bisa menerima ongkos ini, ketahuilah ibu, dakwah ini tidak akan dapat dipikul oleh orang-orang yang manja”. Dia beranggapan bahwa dengan naik taksi bisa membuat dirinya manja dengan dakwah ini.
Zainab Al Ghazalipun menjawab: “Ya akhi, Saya sering ke mana-mana dengan taksi dan mobil-mobil mewah tapi saya tetap dapat memikul dakwah ini dan saya pun tidak menjadi orang yang manja terhadap dakwah, karena itu pakailah ongkos ini, tubuhmu letih dan engkau memerlukan istirahat sejenak dan kenyamanan dalam perjalanan”.
Manja kata yang sering kita dengar untuk disematkan pada mereka yang sering berleha-leha dan tanpa kesiapan untuk perjuangan, ingin serba mudah dan gampang meraih sesuatu yang diinginkannya.
Lalu kesan yang kuat adalah menjadi orang yang cengeng. Kata ini juga sering dinisbatkan pada mereka yang hanya mau enaknya saja tanpa kesulitan yang mesti dihadapinya.
Kadang kata manja juga dikaitkan karena kasih sayang orang tua pada anaknya di masa kanak-kanak. Yang kadang kita juga ingin mengulanginya di saat dewasa, sekedar untuk menyenderkan badan dan bermalas-malas dipangkuan orang tua. Seperti saat masa-masa kecil dahulu.
Akan tetapi bila manja ini dikaitkan dengan urusan dakwah, bagi aktifis dakwah adalah hal yang naif. Sebab biasanya selalu dihubungkan dengan urusan fasilitas dan financial. Menunaikan dakwah ini akan bisa dilakukan apabila tersedia fasilitas dan financial.
Padahal dalam urusan fasilitas dan financial bagi aktifis dakwah bukanlah persoalan yang pokok. Sebab hal itu hanyalah penunjang saja. Bila ada fasilitas, ia akan gunakan sebaik-baiknya untuk menunjang kewajibannya dalam dakwah ini. Adapun bila tidak tersedia tidak menghalangi dirinya untuk menunaikan amanah itu dengan baik.
Bagi aktifis dakwah, apapun kondisi dan situasinya ia mesti dapat menunaikan amanah kebajikan dengan sebaik-baiknya dengan atau tanpa fasilitas dan financial. Oleh karena itu dalam urusan fasilitas dan financial ini, Imam Ibnu Taimiyah mempunyai pandangan:
“Kalau punya/ada dimanfaatkan, kalau tidak punya/tidak ada tidak usah memaksakan”
:: Artikel oleh: Ustadz Drs. DH Al Yusni | sekarang tinggal di Bekasi
Melihat kondisi tubuhnya yang lelah dan penat itu, tuan rumah membiarkan tamunya tertidur nyenyak hingga terbangun. Tak berselang lama, ia pun terbangun dan segera menyampaikan amanah untuk Zainab Al Ghazali.
Selepas itu Abdul Fattah Abu Ismailpun pamit untuk ke kota lainnya. Lantaran keletihan yang dialaminya, Zainab Al Ghazali memberikan ongkos untuk naik taksi agar bisa melanjutkan perjalanan berikutnya dengan nyaman.
Namun Abdul Fattah Abu Ismail mengembalikan ongkos yang diberikan kepadanya itu sambil mengatakan, “Mohon maaf ibu, saya tidak bisa menerima ongkos ini, ketahuilah ibu, dakwah ini tidak akan dapat dipikul oleh orang-orang yang manja”. Dia beranggapan bahwa dengan naik taksi bisa membuat dirinya manja dengan dakwah ini.
Zainab Al Ghazalipun menjawab: “Ya akhi, Saya sering ke mana-mana dengan taksi dan mobil-mobil mewah tapi saya tetap dapat memikul dakwah ini dan saya pun tidak menjadi orang yang manja terhadap dakwah, karena itu pakailah ongkos ini, tubuhmu letih dan engkau memerlukan istirahat sejenak dan kenyamanan dalam perjalanan”.
Manja kata yang sering kita dengar untuk disematkan pada mereka yang sering berleha-leha dan tanpa kesiapan untuk perjuangan, ingin serba mudah dan gampang meraih sesuatu yang diinginkannya.
Lalu kesan yang kuat adalah menjadi orang yang cengeng. Kata ini juga sering dinisbatkan pada mereka yang hanya mau enaknya saja tanpa kesulitan yang mesti dihadapinya.
Kadang kata manja juga dikaitkan karena kasih sayang orang tua pada anaknya di masa kanak-kanak. Yang kadang kita juga ingin mengulanginya di saat dewasa, sekedar untuk menyenderkan badan dan bermalas-malas dipangkuan orang tua. Seperti saat masa-masa kecil dahulu.
Akan tetapi bila manja ini dikaitkan dengan urusan dakwah, bagi aktifis dakwah adalah hal yang naif. Sebab biasanya selalu dihubungkan dengan urusan fasilitas dan financial. Menunaikan dakwah ini akan bisa dilakukan apabila tersedia fasilitas dan financial.
Padahal dalam urusan fasilitas dan financial bagi aktifis dakwah bukanlah persoalan yang pokok. Sebab hal itu hanyalah penunjang saja. Bila ada fasilitas, ia akan gunakan sebaik-baiknya untuk menunjang kewajibannya dalam dakwah ini. Adapun bila tidak tersedia tidak menghalangi dirinya untuk menunaikan amanah itu dengan baik.
Bagi aktifis dakwah, apapun kondisi dan situasinya ia mesti dapat menunaikan amanah kebajikan dengan sebaik-baiknya dengan atau tanpa fasilitas dan financial. Oleh karena itu dalam urusan fasilitas dan financial ini, Imam Ibnu Taimiyah mempunyai pandangan:
لا يرد موجودا ولا يتكلف مفقودا
“Kalau punya/ada dimanfaatkan, kalau tidak punya/tidak ada tidak usah memaksakan”
:: Artikel oleh: Ustadz Drs. DH Al Yusni | sekarang tinggal di Bekasi
suka sekali dengan tulisan2 ustad Al Yusni. salam kenal ustad
BalasHapus