Header Ads

test

Tahajud di Malam Penuh Cinta (catatan-5)

Malam telah beranjak larut, dan langit masih gelap di atas kota Madinah. Jumat, 22 April 2012 dinihari pukul 00.30 waktu setempat. Saya bersama kawan satu kamar, Haji Abdul Rozak, Haji Nurrokhim, ustad Winarto, dan Syamsul Ardhi, kami sudah terbangun dari tidur. Pagi itu, kami berlima membulatkan tekad untuk melaksanakan salat di sepertiga malam. Saya bersama kawan-kawan lainnya segera mandi dan berkemas.

Saya pun langsung teringat salah satu surat di dalam Al Qur’an surat Al Isra ayat 79, Allah SWT berfirman, “Dan pada sebagian malam, lakukanlah salat tahajud (sebagai suatu ibadah) tambahan bagimu, mudah-mudahan Tuhanmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji.”

Rasulullah SAW adalah manusia yang tak pernah meninggalkan salat malam. “Aisyah RA berkata, ‘Janganlah engkau meninggalkan salat malam sebab Rasulullah SAW tidak pernah meninggalkannya. Apabila sakit atau lelah, beliau salat dengan duduk.” (HR Abu Dawud, diriwayatkan dari Abdullah bin Abi Qois).

Suatu saat orang-orang di Madinah ingin melihat wajah sejuk Rasulullah SAW dan menyaksikan sosok manusia yang tidak pernah berdusta sepanjang hidupnya. Setelah mereka berkumpul, Rasulullah SAW menyampaikan pesan kepada orang yang hadir. “Wahai manusia, sebarkanlah salam, berilah makan orang yang fakir, sambungkanlah tali persaudaraan, dan shalatlah pada malam hari ketika orang-orang tidur lelap agar kalian masuk surga dengan selamat.” (HR Tirmidzi).

Setelah kelengkapan dirasa cukup untuk melaksanakan salat tahajud di Raudhah, Masjid Nabawi, kami berlima berangkat menuju Raudhah. Berharap dapat tempat di raudhah dengan nyaman. Jam telah menunjukkan pukul 00:50 waktu setempat, bersyukur kami berlima dapat tempat yang masih kosong di Raudhah. Ternyata belum banyak para jamaah yang ingin salat di Raudhah.

Bagi mereka yang haus akan dahaga menggapai ridha Ilahi, yang rindunya tak terperikan berharap taman surgawi, maka salat tahajud seakan sebuah kewajiban pelepas dahaga ruhani. Karena mereka mengartikannya sebagai sebuah perintah.

Tiada kelezatan melaksanakan salat malam kecuali Allah SWT akan menempatkan diri manusia di tempat mulia. Para penempuh jalan kemuliaan itu, bangun pada sepertiga malam sampai menjelang fajar untuk menumpahkan hasratnya berdialog dan bertatap batin dengan Allah SWT.

Ketika tengah malam pekat membuai lelap, seakan mereka merintihkan segala harapan, seraya berharap petunjuk Allah. “Wahai Ilahi, Engkaulah mutiara yang tersembunyi dan terus kuselami, betapa pun ombak gelombang menggulung dan mengempas tubuhku. Inilah air mataku yang memburai dari hatiku yang basah. Setiap tetesan air mataku adalah harap cemas, penyesalan tiada tara akan dosa-dosaku, dan berharap akan ampunan-Mu.”

Dalam tahajud, tidak ada lagi permohonan yang mendunia, tetapi yang ada hanyalah desah rindu untuk berjumpa dengan Allah SWT semata. Cinta telah memikat hati mereka untuk terbang membubung mencari Sang Pemilik Cinta. Jiwanya melayang menjulang bagaikan serpihan kapas tertiup angin pagi diiringi petikan dawai halus yang mendendangkan hasrat kerinduan tak terperikan, seraya berkata, “Wahai Tuhanku, Engkaulah segala akhir dari tujuanku, Engkaulah yang selalu kurindu dalam pencarianku.”

Tak terasa waktu berduaan dengan sang Khalik terus beranjak masuk waktu subuh. Di Madinah, banyak diantara jamaah umrah yang akan pergi ke masjid untuk melaksanakan salat tahajud lebih awal dua jam dari azan subuh. Masjid Nabawi akan mengumandangkan azan pertama sebagai panggilan salat sunah ini. Lalu, satu jam kemudian, akan terdengar lagi panggilan azan untuk melaksanakan salat subuh.

Di pagi hari yang masih sepi, diantara toko-toko yang masih tutup, berbondong-bondong manusia berjalan menuju masjid Nabawi. Yang laki-laki mengenakan gamis putih. Sedangkan yang perempuan lebih beragam. Jamaah Indonesia punya ciri tersendiri. Mereka mengenakan perangkat salat itu sejak dari hotel. Yang lebih tampil menyolok adalah jamaah umrah Iran. Mereka mengenakan gamis berwarna hitam ditambah lagi sehelai kain yang menutup tubuhnya

Tidak ada komentar