Cahyadi Takariawan Berbagi Pengalaman Menulis
Alhamdulillah. Bersyukur, pada hari Minggu, 28 Desember 2014 mulai pukul 09.30 WIB hingga pukul 11.45 WIB, saya bisa mengikuti kegiatan ‘sharing session’ bersama Pak Cah, panggilan akrab dari Cahyadi Takariawan, diadakan di MD Building, Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
Saya datang bersama sekitar 150 orang untuk ikut kegiatan yang diselenggarakan oleh Humas DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Pak Cah sendiri didaulat untuk menyampaikan pengalamannya dalam menulis, termasuk bagaimana agar tulisan dapat menginspirasi banyak pembaca.
Saat saya tiba di MD Building pukul 08.15 WIB, ternyata sudah ada 9 orang peserta, 5 peserta perempuan dan 4 peserta laki-laki yang semuanya berasal dari Kota Bekasi.
Kesempatan itu saya manfaatkan untuk berbincang, sharing ide, cerita, motivasi ke peserta laki-laki yang sudah datang. Pikir saya, harus ada manfaat yang diambil dari sharing dengan peserta lainnya juga. Selain dengan Pak Cah.
Pak Cah membuka awal diskusi dengan mengatakan bahwa menulis itu tidak memerlukan bakat yang banyak, hanya tinggal mau atau tidak menulis. Semua orang punya rasa bahasa yang berbeda, yang penting mau menulis. Banyak membaca akan membantu tulisan. Menulis itu jendela kita untuk mengenal dunia dan segalanya. Jadi, menulislah.
Pak Cah menambahkan, kalau kita menulis jangan sampai ditolak media. “Jadi kalau ditolak di media Nasional, kirim ke media wilayah. Ditolak juga, dikirim ke media lokal. Jika gak dimuat juga, koran apapun gak apa-apa. Jika gak dimuat juga, muat di media sendiri saja, di buletin sendiri. Pokoknya diterbitkan, karena tekad itu penting,” tutur Pak Cah yang langsung disambut gelak tawa para peserta diskusi.
Menulis bisa dilakukan oleh profesi apapun. Jika berhasil tembus, bisa jadi penghasilannya melebihi gaji polisi, dokter, bahkan professor. Dan pada akhirnya menjadi penulis itu menyehatkan dan membahagiakan, karena berdampak panjang kedepan. Pak Cah juga sempat membayangkan bisa keluar negeri, tapi gimana caranya bisa kesana.
Alhamdulillah, berkat undangan buku, bedah buku karyanya sendiri dan sebagainya, seperti buku berjudul 'Wonderful Family', 'Wonderful Husband', 'Wonderful Couple' dan buku-buku wonderful lainnya, membuat ia tidak hanya keliling Indonesia, tapi juga bisa keliling dunia. Kini seluruh provinsi di Indonesia sudah pernah disambangi. Semuanya berkat bedah buku dan pelatihan-pelatihan.
Dulu saya banyak menulis yang ideologis semisal 'Menikah di Jalan Dakwah' tapi sekarang judulnya yang sederhana namun disukai para pembaca, katanya.
Ada perbedaan karena kini saya menulis tanpa merumitkan diri dengan referensi. Saya cukup mengeluarkan pengalaman sebagai konselor 14 tahun serta tulisan-tulisan yang pernah dimuatnya, tutur Pak Cah mengisahkan pengalamannya. Sungguh, kisah inspiratif yang diawali dari pengalaman panjang.
Pak Cah juga menuturkan bahwa menulis itu dunia tanpa batas, karena kita bisa melakukan apapun, sebagai apapun. Sebagai pejabat publik, guru, dokter, ibu rumah tangga, dan lainnya, bisa nulis itu bagus. Jadi semua yang kita lakoni ini bisa nulis.
Pak Cah mengaku dengan menulis ulang pengalaman panjangnya, ia bisa lebih lepas dalam berekspresi. Kapan saja waktu yang terbaik untuk menulis, Pak Cah punya kiatnya.
“Hari terbaik menulis itu, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu dan Ahad. Dan waktu yang terbaik untuk menulis itu, jam 1, jam 2, jam 3, jam 4, jam 5, jam 6 sampai jam 24.00,” papar Pak Cah penuh kelakar. Pak Cah juga bercerita bahwa jam-jam terbaik saat dirinya menulis, adalah yaitu tiap pagi.
Pak Cah juga mengisahkan sekilas tentang buku “Wonderful Family”. Etikanya tidak boleh pakai nama klien. Menulis kasus secara umum untuk mengambil hikmahnya. Banyak hal yang bisa kita jadikan bahan tulisan.
Sebagai contoh, Pak Cah juga mengisahkan seorang ibu di Yogyakarta yang bisa menerbitkan satu buku. Berawal dari kesehariannya mengantar dan menuggu anaknya setiap hari di sekolah, lalu berinteraksi dengan ibu-ibu, banyak ngobrol. Masing-masing cerita tentang anaknya, dan celoteh anak-anak tadi bisa ia jadikan buku.
Jadilah buku 'Celoteh Anak-Anak'. “Simple bukan, apa saja bisa jadi tulisan, bahkan keseharian kita bisa jadi inspirasi tulisan,” tutur Pak Cah penuh semangat. Bagi seorang penulis, tidak boleh ada alasan lagi kering inspirasi. Menulis itu bisa dari pengalaman, amanah maupun kegiatan sehari-hari.
Selain itu, Pak Cah juga sering menulis dari pengalaman. Beliau mencontohkan, ketika dirinya sering kesal dengan Lion Air yang sering delay sampai 4 jam. Ternyata disana ada banyak pengalaman. Lion Air melatih kesabaran saya, ceritanya.
Jika ada penumpang yang marah-marah di kantor Lion Air, berarti ia adalah penumpang pemula, belum berpengalaman, cerita Pak Cah. “Kalau penumpang senior, ia pasti sabar menunggu,” kelakar Pak Cah, yang disambut tawa para peserta.
Mengawali menulis itu sulit, tapi kalau sudah menulis, susah mengakhirinya. Contoh ringan yang bisa kita jadikan tulisan, misal kita sedang transit, atau menunggu keberangkatan, bikin tulisan judulnya “Transit”. Pengalaman-pengalaman kita setiap hari tulis saja, lalu publish di manapun. Social media juga media online seperti kompasiana. Tulislah setiap hari.
Pah Cah belajar banyak hal dari kompasiana. Ada judul-judul yang diminati pembaca. Belajar dari tema apa yang diminati. Bahkan jika tulisan yang kita publis sudah sesuai tema, bisa dijadikan buku. Tentunya, membuat buku dari tulisan kita, jangan apa adanya, tapi di poles lagi, ditambah-tambahi agar tambah baik.
Buku memang bisa menghasilkan profit, namun penghasilan di luar itu jauh lebih banyak. Lewat undangan seminar, workshop, bedah buku, pelatihan, dan lainnya yang berkaitan dengan buku. Buku itu hanya jendela saja, pintu saja. Tetapi, di luar itu ada peluang besar, yaitu dapat undangan kemana-mana untuk bicara di khalayak ramai. Buku itu pintu kita, jendela untuk mengenal kita.
Pak Cah juga bercerita bahwa tema-tema undangan yang dating kepada dirinya adalah tulisan-tulisan yang pernah dibuat Pak Cah di kompasiana. Simple saja. Semua permintaan dari judul tulisan itu untuk bicara di undangan ceramah dan seminar.
Terakhir, Pak Cah bercerita bahwa dengan menulis ulang pengalaman-pengalaman yang dijalaninya, dirinya bisa lebih lepas dalam berekspresi. Pak Cah juga berbagi tips untuk menyimpan ide. Ia selalu mencatat lintasan ide di telepon genggamnya. Dirinya juga selalu menyempatkan menulis satu jam sehari setelah subuh.
Pak Cah mengaku bahwa dirinya bisa menulis dimana saja untuk artikel di internet. Tetapi untuk menulis buku dirinya perlu satu tempat dan waktu khusus, tidak bisa asal saja. Dan soal profesi sebagai penulis, Pak Cah mengakui di Indonesia memang belum bisa jadi mata pencaharian.
Menulis itu jadi jendela saja. Bukan untuk terkenal tapi dikenal, katanya. Pak Cah berpesan kepada peserta yang hadir bahwa aktivitas menulis tidak bisa dibenturkan dengan profesi yang lainnya. Menulis itu bisa berkembang seiring dengan profesi yang digeluti. | CYP Asmadiredja
Post a Comment